Agar Kutawan Dalam Pualam

Menyandera bulan.

Yoh
2 min readOct 4, 2023
Photo by Giv Meraj on Unsplash

“Aku rindu bulan,”
keluh pungguk pada kawannya dalam malam kelam. Seberkas cahaya pun tak ada, mungkin bulan sedang malas menjadi perantara surya. Memang bulan selalu ada, tapi bukankah di situ reflektor unggul: bila tiada sinar, siapa yang tahu nasibnya; yang selalu terlihat tak dapat dinanti.

“Aku rindu bulan.”
Kali ini nadanya sedikit merajuk. “Terakhir di dasar sumur ia tergeletak.” Kawannya mendengus tajam. Itu pantulannya, bodoh; yang memantulkan terang juga bisa punya pantulan. Pungguk tak peduli. Pantulan, bayangan, lukisan; yang penting bulan.

“Aku rindu bulan!”
Serentak segenap rakyat hutan bagian nokturnal menoleh. Sesaat pula atensi mereka lenyap. Oh, pungguk masih juga mendambakan bulan. Kerap terjadi tiap matahari tak lagi terik, tak lagi menarik. Paling serigala sedikit berempati; tanpa bulan mana boleh ia melolong.

“Kau rindu bulan?”
Sang kawan bertanya, setengah ledekan separuh kasihan. Pungguk merunduk sendu dengan wajah tertekuk, enggan menjawab. Si bebal ini bahkan tak tahu wujud asli pujaan hatinya. Terkadang membulat penuh bagai harapan, sering kali menjuntai bak senyuman.

“Kau rindu bulan,”
desah si kawan pasrah melihatnya resah meniti gelisah. Pungguk mengangguk cepat nan mantap seakan tak kenal kantuk. Di benaknya berkelebat pertanyaan acak macam apakah menonton badai di atas Samudra Pasifik termasuk hobi bulan atau apa posisi favoritnya.

“Kau rindu bulan!”
Begitu bisik imperatif pungguk di telinga setiap anak yang tertidur lelap. Mulai sekarang ia jemput bola. Di antara miliaran insan, mungkin kelak ada seorang ibu yang cukup gila untuk menculik bulan demi anaknya yang tak kunjung usai mengigau, “Ambilkan bulan, Bu.”

--

--